Saturday, September 20, 2014

Peran Mahkamah Konstitusi

Hans Kelsen menyatakan bahwa pelaksanaan aturan konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika suatu organ selain badan legislatif diberikan tugas untuk menguji apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau tidak, dan tidak memberlakukannya jika menurut organ ini produk hukum tersebut tidak konstitusional. Untuk itu dapat diadakan organ khusus seperti pengadilan khusus yang disebut mahkamah konstitusi (constitutional court), atau kontrol terhadap konstitusionalitas undang-undang (judicial review) diberikan kepada pengadilan biasa, khususnya mahkamah agung. Organ khusus yang mengontrol tersebut dapat menghapuskan secara keseluruhan undang-undang yang tidak konstitusional sehingga tidak dapat diaplikasikan oleh organ lain. Sedangkan jika sebuah pengadilan biasa memiliki kompetensi menguji konstitusionalitas undang-undang, mungkin hanya dalam bentuk menolak untuk menerapkannya dalam kasus konkret ketika menyatakan bahwa undang-undang tersebut tidak konstitusional sedangkan organ lain tetap diwajibkan menerapkannya.42

George Jellinek pada akhir abad ke-19 mengembangkan gagasan agar kewenangan judicial review tersebut diterapkan di Austria, seperti yang telah diterapkan oleh John Marshal di Amerika. Pada tahun 1867, Mahkamah Agung Austria mendapatkan kewenangan menangani sengketa yuridis terkait dengan perlindungan hak-hak politik berhadapan dengan pemerintah. Pemikiran Kelsen yang telah diungkapkan di atas, mendorong dibentuknya suatu lembaga yang diberi nama Verfassungsgerichtshoft atau Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) yang berdiri sendiri di luar Mahkamah Agung, sehingga model ini sering disebut sebagai “The Kelsenian Model43”. Gagasan ini diajukan ketika Kelsen diangkat sebagai anggota lembaga pembaharu Konstitusi Austria (Chancelery) pada tahun 1919 – 1920 dan diterima dalam Konstitusi Tahun 1920. Inilah Mahkamah Konstitusi pertama di dunia. Model ini menyangkut hubungan antara prinsip supremasi konstitusi (the principle of the supremacy of the Constitution) dan prinsip supremasi parlemen (the principle of the supremacy of the Parliament). Mahkamah konstitusi ini melakukan pengujian baik terhadap norma-norma yang bersifat abstrak (abstract review) dan juga memungkinkan pengujian terhadap norma kongkrit (concrete review). Pengujian biasanya dilakukan secara a posteriori, meskipun tidak menutup kemungkinan dilakukan pengujian a priori.44

Walaupun demikian, keberadaan lembaga Mahkamah konstitusi secara umum merupakan fenomena baru dalam dunia ketatanegaraan. Hingga saat ini baru terdapat 78 negara yang membentuk mahkamah ini secara tersendiri.45 Negara-negara ini pada umumnya adalah negara-negara yang mengalami perubahan dari otoritarian menjadi negara demokrasi.

Di Indonesia, Mahkamah Konstitusi merupakan produk dari perubahan keempat UUD 1945. Pasal 24 ayat (2) UUD 194546 menyatakan: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Hal ini berarti cabang kekuasaan kehakiman merupakan satu kesatuan sistem yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi yang mencerminkan puncak kedaulatan hukum Indonesia berdasarkan UUD 1945 Agustus 2003. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia kemudian diatur dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang disahkan pada tanggal 13 Agustus 2003.47 Namun lembaga Mahkamah Konstitusi sendiri baru benar-benar terbentuk pada tanggal 17 Agustus 2003 setelah pengucapan sumpah jabatan sembilan hakim konstitusi pada tanggal 16 Agustus 2003.48

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk; (a) menguji undang-undang terhadap UUD 1945; (b) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; (c) memutus pembubaran partai politik; dan (d) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.49 Selain itu Mahkamah Konstitusi juga (e) wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.50

Kewenangan pertama Mahkamah Konstitusi sering disebut sebagai judicial review. Namun istilah ini harus diluruskan dan diganti dengan istilah constitutional review atau pengujian konstitusional mengingat bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945. Per definisi, konsep constitutional review merupakan perkembangan gagasan modern tentang sistem pemerintahan demokratis yang didasarkan atas ide negara hukum (rule of law), prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power), serta perlindungan hak asasi manusia (the protection of fundamental rights). Dalam sistem constitutional review itu tercakup dua tugas pokok, yaitu (a) menjamin berfungsinya sistem demokrasi dalam hubungan peran atau interplay antara cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif; dan (b) melindungi setiap individu warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga negara yang merugikan hak-hak fundamental mereka yang dijamin dalam konstitusi.51

Sedangkan kewenangan Mahkamah Konstitusi yang lain dapat dilihat sebagai upaya penataan hubungan kelembagaan negara dan institusiinstitusi demokrasi berdasarkan prinsip supremasi hukum. Sebelum terbentuknya Mahkamah Konstitusi dengan kewenangannya tersebut, hubungan kelembagaan negara dan institusi demokrasi lebih didasarkan pada hubungan yang bersifat politik. Akibatnya, sebuah lembaga dapat mendominasi atau mengkooptasi lembaga lain, atau terjadi pertentangan antar lembaga atau institusi yang melahirkan krisis konstitusional. Hal ini menimbulkan ketiadaan kepastian hukum dan kotraproduktif terhadap pengembangan budaya demokrasi. Pengaturan kehidupan politik kenegaraan secara umum juga telah berkembang sebagai bentuk “the constitutionalization of democratic politics”.52 Hal ini semata-mata untuk mewujudkan supremasi hukum, kepastian hukum, dan perkembangan demokrasi itu sendiri, berdasarkan konsep negara hukum yang demokratis (democratische reshtsstaat).

Kewenangan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi (the guardian of the constitution). Kewenangan ini dilaksanakan untuk menjaga ketentuan undang-undang agar tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan atau merugikan hak konstitusional warga negara. Batu ujian yang digunakan tentu saja adalah UUD 1945 yang terdiri dari Pembukaan dan Pasal-pasal. Yang dijadikan alat untuk menguji apakah suatu ketentuan undang-undang melanggar hak konstitusional atau bertentangan dengan Undang-Undang Dasar tidak hanya Pasal-Pasal, melainkan juga cita-cita dan prinsip dasar yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945.

Dalam pelaksanaan kewenangan Mahkamah Konstitusi, berbagai permasalahan baru yang mendasar senantiasa muncul dalam proses penataan kehidupan bernegara terkait dengan dasar negara Pancasila dan perkembangan dunia yang didominasi oleh ideologi kapitalisme. Permasalahan tersebut diantaranya adalah; (a) hubungan ekonomi dengan wilayah hukum dan politik; (b) kerangka institusional negara; (c) tujuan dan peran pemerintahan; (d) akibat dan batasan intervensi negara dalam masyarakat; dan (e) masalah kedaulatan negara berhadapan dengan perkembangan hukum internasional.53

Putusan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 yang telah dibuat oleh Mahkamah Konstitusi terhadap berbagai permohonan pengujian yang diajukan juga selalu melihat secara utuh UUD 1945. Dalam putusanputusan tersebut memuat pengertian-pengertian dan konsep-konsep terkait dengan pemahaman suatu ketentuan dalam konstitusi berdasarkan cita negara (staatside)dan landasan filosofis (filosofische grondslag) bangsa Indonesia. Hingga saat ini telah terdapat berbagai putusan Mahkamah Konstitusi baik di bidang politik54, ekonomi55, dan sosial56 terkait dengan ketentuan dalam UUD 1945 yang mengelaborasi nilai-nilai dasar Pancasila sebagai batu ujian atas permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.

Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi secara otomatis juga berarti sebagai penjaga Pancasila sebagai materi konstitusi dan mempertahankannya sebagai ideologi terbuka. Mahkamah Konstitusi mengelaborasi nilai-nilai dan prinsip dasar Pancasila untuk menentukan apakah sesuatu ketentuan undang-undang bertentangan dengan konstitusi atau tidak. Disamping itu, melalui pelaksanaan kewenangannya, Mahkamah Konstitusi tetap menjaga Pancasila sebagai ideologi terbuka dengan senantiasa mempertimbangkan perkembangan nilai-nilai dalam masyarakat dan masyarakat internasional sehingga tidak menjadi ideologi tertutup yang dapat disalahgunakan sebagai alat legitimasi kekuasaan belaka. Hal ini juga dapat dilakukan dalam pelaksanaan kewenangan yang lain terutama dalam hal sengketa kewenangan lembaga negara, pembubaran partai politik, dan memutus usulan DPR untuk pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden.

Penutup

Cita-cita ideal bernegara berlaku bagi segenap bangsa Indonesia tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini merupakan kemajuan tersendiri bagi bangsa Indonesia dibandingkan beberapa konstitusi negara lain, bahkan di Amerika dan Perancis, yang semula hanya menyebutkan kata “man” sebagai warga negara. Salah satu sila dari Pancasila adalah “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Hal ini menunjukkan bahwa salah satu penyangga bangsa Indonesia adalah prinsip kemanusiaan yang adil, yang dengan sendirinya menentang diskriminasi baik berdasarkan ras, agama, keyakinan politik, maupun gender.

Prinsip-prinsip dasar tersebut juga dapat dilihat dari perumusan ketentuan UUD 1945 pada Bab XA tentang Hak Asasi Manusia. Seluruh ketentuan masalah hak asasi manusia dalam UUD 1945 menyebutkan “setiap orang” atau “setiap warga negara” yang menunjukkan tidak ada pembedaan berdasarkan gender. Bahkan dalam Pasal 28I UUD 1945 disebutkan “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.

Walaupun telah ada jaminan konstitusional, namun realitas menunjukkan bahwa diskriminasi gender masih terjadi di masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari stereotype dan budaya patriakhi yang dominan tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Bahkan pada saat negaranegara kawasan Asia dan Amerika Latin sudah banyak yang pernah dipimpin oleh perempuan, negara Eropa masih jarang, bahkan di Amerika belum pernah sama sekali.

Berhadapan dengan realitas masih adanya diskriminasi atas perempuan baik secara kultural maupun struktural, adalah suatu ketidakadilan jika sekedar memberikan kesempatan yang sama kepada perempuan dan laki-laki untuk berperan dalam berbagai bidang kehidupan. Perempuan jelas akan tetap tertinggal karena kemampuan dan dukungan sosial yang diperoleh kalah dibandingkan dengan laki-laki yang sejak awal memang dominan.

Karena itulah adalah sah dan memenuhi rasa keadilan jika terdapat kebijakan yang berupaya mendorong peran perempuan dengan memberikan kuota khusus (affirmative action). Hal ini secara konstitusional dijamin dalam Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.”

Salah satu wujud affirmative action ini adalah adanya persetujuan bersama antara DPR dan pemerintah tentang kuota minimal 30 persen calon anggota legislatif, baik tingkat pusat maupun daerah, yang diusulkan oleh partai-partai politik peserta Pemilu 2004. Hanya saja disayangkan rumusan ketentuan mengenai hal itu, yakni Pasal 65 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD57 tersebut, tidak bersifat memaksa (imperatif) karena menggunakan kata ”dapat”, bukan kata ”wajib” atau ”harus”. Akibatnya, para anggota lembaga legislatif, baik di tingkat pusat maupun daerah, hasil Pemilu 2004 tidak memenuhi keterwakilan 30 persen adalah kaum perempuan.

Terlepas dari berbagai jaminan persamaan hak dan kemudahan dan perlakuan khusus dalam UUD 1945, yang menentukan diakui tidaknya kesejajaran perempuan dan laki-laki serta berperan tidaknya perempuan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, adalah kualitas manusianya. Kalaupun telah diberikan perlakuan khusus dan kultur sosial sudah tidak bias gender, namun jika tidak memiliki kualitas yang memadai, perempuan tidak akan dapat memanfaatkan perlakuan khusus yang diberikan. Kebijakan tersebut juga akan berujung sebagai penghias bibir semata.

Maka peningkatan kualitas dan kemampuan perempuan harus menjadi agenda bangsa secara keseluruhan, maupun partai-partai politik, di samping perjuangan secara struktural dan kultural. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai proses pendidikan dan pelatihan serta memperluas medan pengalaman dalam aktivitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 21

No comments:

Post a Comment